Robot Waktu...

Senin, 11 Maret 2013

Aku, Kamu dan Milyaran Bintang


Dinginnya air hujan mencekat sampai ke tulang-ku. Seragam sekolahku basah kuyup. Aku berteduh di Halte Bus sambil menunggu bus yang datang. Tapi sia-sia saja. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Lagi-lagi aku ketinggalan bus. Biasanya memang tidak ada bus yang mengangkut penumpang di jam seperti ini. Aku memutuskan untuk berjalan pulang. Daripada aku kemalaman pulang. Mama pasti sudah menungguku. Tapi, aku kaget air hujan sudah tidak menembus bajuku lagi.
“Hujannya deres banget, ya ..” Aku kenal suara itu. Aku berbalik dan saat itulah aku melihatnya sudah basah kuyup.
“Aku kembali, Fi.” Teriaknya lagi. Aku memandangnya dengan tatapan kosong.
                “Kamu jahat, Fan.” Teriakku di bawah hujan.
                “Aku disini sekarang.” Katanya dan menenggelamkanku dalam pelukannya. Rasanya hangat, ditambah lagi ada rasa hangat yang membesahi mataku. Air mata mulai mengalir di pipiku.
                “Lepasin aku.” Teriakku berontak. “Lepasin aku, Fan.” Teriakku lagi melepaskan pelukannya.
                “Kamu jahat, Fan. Kamu …” Teriakku terhenti. Aku mulai menangis.
                “Fi, maafin aku.” Katanya lembut dan meraih tanganku.
                “Enggak.” Sentakku. Aku berlarii menembus hujan yang semakin deras. Fandi tidak mengejarku lagi. Aku berhenti di pepohonan, seakan mengerti, hujan juga ikut menangis bersamaku. Aku cepat-cepat menghapus air mataku. Buat apa aku nangis, nggak ada gunanya juga.
                Sudah jam setengah 6. Aku cepat-cepat berlari ke rumah. Mama pasti sudah menungguku.
                “Mama … Fifi pulang.” Teriakku seperti biasanya di depan pintu, melupakan kesedihanku.
                Pernah rasanya aku tidak bisa bernafas dan lupa bagaimana caranya bernafas.
                “Hay, Fi.” Dan aku merasakan hal itu sekarang.
                “Eh, anak mama sudah pulang.” Aku tercengang sekarang. Aku benar-benar sudah lupa bagaimana caranya bernafas.
                “Sana ganti dulu. Nanti masuk angin.” Kata mama.
                “Iya, ma.” Aku terus berjalan tanpa memperhatikannya.
                “Ini diminum dulu nak Fandi.”
                “Makasih tante. Sebelumnya Fandi minta maaf, tan.” Aku mendengarkannya di balik tembok.
                “Memangnya selama ini nak Fandi kemana saja ??”
                “Fandi bener-bener minta maaf banget, tan. Bukannya Fandi nggak mau pamit dulu, tapi Fandi nggak tega sama Fifi. Fandi bener-bener nggak tega ninggalin Fifi. Sebenernya itu juga bukan mau Fandi, mama yang nyuruh buat nerusin kuliah di luar.”
                “Tante nggak papa, sih. Tante kasihan sama Fifi-nya. Mendingan nak Fandi langsung ngomong aja sama Fifi. Sebentar ya, tante panggilkan Fifi dulu.”
                “Oh … iya, tan.”
                Aku cepat-cepat masuk ke kamar, berganti pakaian dan berpura-pura tidur.
                “Fi, itu udah di tunggu nak Fandi. Ayo keluar.” Panggil mama dan masuk ke kamarku.
                “Fifi nggak enak badan, ma.”
                “Terus gimana sama nak Fandi ?”
                “Terserah mama, deh. Bilang aja Fifi tidur dan nggak mau diganggu.”

#####

                “Ma, Fifi berangkat dulu, ya.” Teriakku.
                “Hati-hati, ya.”
                Aku berjalan riang seperti biasa. Sekolahku nggak jauh-jauh banget dari rumah. Palingan kalo jalan 30 menit-an. Biasanya sih aku naik bus. Tapi kali ini aku jalan kaki sekalian olahraga. Aku sampai di sekolah sekitar jam 7 kurang 15 menit. Aku masuk ke kelas. Bersiap untuk memulai pelajaran hari ini. Bel  berbunyi yang menandakan pelajaran dimulai. Tapi, pikiranku bukan ke pelajaran itu. Aku malahan memikirkan Fandi. Entah kenapa aku tiba-tiba memikirkannya. Aku sebenarnya juga tidak punya alasan pasti untuk membencinya. Tapi …… Ah, sudahlah.
                Teng..teng..teng..
                Suara bel menyadarkanku dari lamunanku. Aku pergi ke kantin untuk membeli makanan. Tapi, pikiranku masih dipenuhi oleh FANDI. Aku memang sudah berteman dengannya sejak kecil. Kami sangat akrab. Tapi, sejak 3 tahun lalu, dia menghilang begitu saja. Tanpa memberi kabar sedikitpun. Aku jadi agak membencinya.  
                Teng..teng..
                Bel masuk berbunyi. Aku masuk ke kelas. Entahlah, apakah aku bisa konsen dengan pelajarannya. Tapi dia masih menguasai pikiranku. Sangat dalam. Bahkan, sampai pelajaran terakhir-pun, aku tidak bisa menguasainya. Mungkin sebaiknya aku memaafkannya. Aku pulang dengan tidak bersemangat. Aku duduk di taman biasa. Memandangi rerumputan yang bergoyang. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
               
#####

               
Aku tidak berangkat sekolah hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Aku masih ragu dan Fandi masih berenang di pikiranku. Semuanya kacau. Aku hanya bisa berdiam diri di kamar, merenung dan merenung. Aku membongkar almari-ku yang penuh dengan kenanganku dan Fandi waktu kecil. Mencari-cari sesuatu.
                “Nah, ini dia.” Kataku. Aku membuka kotaknya. Isinya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang merubahnya, termasuk waktu. Apakah dia masih menyimpannya juga. Waktu semakin sore. Entah kenapa, aku ingin sekali pergi ke taman. Aku ingin melihat bintang-bintang disana. Aku mandi dan memakai pakaian yang simple, dengan rambut tergerai.
                “Ma, Fifi ke taman ya.” Teriakku.
                “Ya. Tapi pulangnya jangan malem-malem ya.”
                “Siap, ma !” Kami tertawa.
                Speechles, 1 kata itu yang bisa aku ungkapkan. Aku melihatnya sedang duduk di bangku taman, sambil memegangi sebuah benda. Aku tahu dia juga kaget melihatku. Tapi, dia hanya diam saja. Memandangku dengan putus asa. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
                “Sudah lama ?” Tanyaku kemudian. Aku tidak berani melihatnya. Aku hanya memandangi awan-awan dengan warna yang indah di langit.
                “Belum.” Jawabnya singkat. Ada nada penyesalan dalam suaranya.
                “Jadi kamu masih nyimpen itu.” Kataku. Dia mengangguk.
                “Ya.” Katanya kemudian. “Ngapain kamu kesini ?” Tanyanya kemudian. “Sore-sore lagi.” Lanjutnya.
                “Emangnya aku nggak boleh ya kesini.” Jawabku.
                “Ya, terserah kamu sih.”
                “Ya udah deh, aku pulang aja.” Baru mau melangkahkan kaki, dia memegang tanganku. “Kenapa ?” Tanyaku
                “Enggak. Jangan pulang dulu. Bentar lagi kan sunset.” Aku tidak jadi pulang. Aku duduk lagi. Entah kenapa kami jadi seperti orang yang baru kenal. Saling asing. Kemana Fandi yang dulu ?
                Matahari mulai tenggelam, semakin gelap, gelap dan gelap. Bintang-bintang terlihat jelas dan terang. Aku suka bintang kejora, tapi dia hanya bisa ditemui saat sunrise datang.
                “Nyari apa ? Bintang kejora ?” Tanyanya kemudian.
                “Enggak. Aku suka bintang.” Jawabku.
                “Please. Maafin aku, Fi.” Katanya kemudian. “Please, Fi.”
                Aku nggak tau harus ngomong apa. Aku udah maafin kamu kok. Tapi itu nggak bisa keluar dari mulutku. Aku hanya terdiam. Aku mengambil benda yang ada di tangannya, mengambil kunci milikku dan membukanya.
                “Jadi kamu maafin aku ?” Tanyanya kemudian.
                “Nih.” Kataku memberikan padanya.
                “Kamu bener-bener maafin aku ?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk dan tersenyum.
                “Fi, aku pengen tau sesuatu dari kamu.” Kata Fandi. Aku menatapnya. Wajahnya berubah serius.
                “Kamu menganggapku apa ? Apa aku berharga di hidupmu ? Apa aku hanya sahabatmu atau … lebih ?” Tanya Fandi. Aku memandangnya. Menatap matanya yang secerah awan. Aku meraih tangannya dan tersenyum.
                “Aku masih SMA, Fan.” Jawabku. “Maaf. Tapi, menurutku cinta tidak harus memiliki. Aku selalu bahagia bersamamu. Begitulah cinta. Aku harus membuktikan pada bintang-bintang itu kalau aku bisa menggapainya. Aku harus bisa membuktikannya.” Kataku yakin. Kami bertatapan. Senyum terbentuk di bibirnya.
                “Ya. Kamu benar. Cinta memang tidak harus memiliki, tapi akan bahagia jika kita bersama.” Kata Fandi kemudian.
                “Tapi kamu lebih dari temanku .. kamu sahabatku.” Kataku. “Sahabat baikku.” Sambungku. Tapi suatu saat aku akan menerimamu dalam hidupku selamanya. Saat aku sudah bisa menggapai bintang-bintang itu, batinku. Kami tertawa bersama. Bintang-bintang itu menjadi saksi ucapanku. Kuharap bintang-bintang itu akan selamanya menjadi saksi kita. Air mata mengalir di pipiku dan jatuh tepat di telapak tangan Fandi. Ini bukan air mata kesedihan tapi air mata kebahagiaan.
                “Bintang dan air mata ini menjadi saksi.” Kata Fandi kemudian seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. Kami tertawa di bawah milyaran bintang.