Dinginnya
air hujan mencekat sampai ke tulang-ku. Seragam sekolahku basah kuyup. Aku berteduh
di Halte Bus sambil menunggu bus yang datang. Tapi sia-sia saja. Jam sudah
menunjukkan pukul 17.00. Lagi-lagi aku ketinggalan bus. Biasanya memang tidak
ada bus yang mengangkut penumpang di jam seperti ini. Aku memutuskan untuk
berjalan pulang. Daripada aku kemalaman pulang. Mama pasti sudah menungguku. Tapi,
aku kaget air hujan sudah tidak menembus bajuku lagi.
“Hujannya
deres banget, ya ..” Aku kenal suara itu. Aku berbalik dan saat itulah aku
melihatnya sudah basah kuyup.
“Aku
kembali, Fi.” Teriaknya lagi. Aku memandangnya dengan tatapan kosong.
“Kamu jahat, Fan.” Teriakku di
bawah hujan.
“Aku disini sekarang.” Katanya
dan menenggelamkanku dalam pelukannya. Rasanya hangat, ditambah lagi ada rasa
hangat yang membesahi mataku. Air mata mulai mengalir di pipiku.
“Lepasin aku.” Teriakku
berontak. “Lepasin aku, Fan.” Teriakku lagi melepaskan pelukannya.
“Kamu jahat, Fan. Kamu …” Teriakku
terhenti. Aku mulai menangis.
“Fi, maafin aku.” Katanya lembut
dan meraih tanganku.
“Enggak.” Sentakku. Aku berlarii
menembus hujan yang semakin deras. Fandi tidak mengejarku lagi. Aku berhenti di
pepohonan, seakan mengerti, hujan juga ikut menangis bersamaku. Aku cepat-cepat
menghapus air mataku. Buat apa aku nangis, nggak ada gunanya juga.
Sudah jam setengah 6. Aku
cepat-cepat berlari ke rumah. Mama pasti sudah menungguku.
“Mama … Fifi pulang.” Teriakku
seperti biasanya di depan pintu, melupakan kesedihanku.
Pernah rasanya aku tidak bisa
bernafas dan lupa bagaimana caranya bernafas.
“Hay, Fi.” Dan aku merasakan hal
itu sekarang.
“Eh, anak mama sudah pulang.”
Aku tercengang sekarang. Aku benar-benar sudah lupa bagaimana caranya bernafas.
“Sana ganti dulu. Nanti masuk
angin.” Kata mama.
“Iya, ma.” Aku terus berjalan
tanpa memperhatikannya.
“Ini diminum dulu nak Fandi.”
“Makasih tante. Sebelumnya Fandi
minta maaf, tan.” Aku mendengarkannya di balik tembok.
“Memangnya selama ini nak Fandi
kemana saja ??”
“Fandi bener-bener minta maaf
banget, tan. Bukannya Fandi nggak mau pamit dulu, tapi Fandi nggak tega sama
Fifi. Fandi bener-bener nggak tega ninggalin Fifi. Sebenernya itu juga bukan
mau Fandi, mama yang nyuruh buat nerusin kuliah di luar.”
“Tante nggak papa, sih. Tante
kasihan sama Fifi-nya. Mendingan nak Fandi langsung ngomong aja sama Fifi.
Sebentar ya, tante panggilkan Fifi dulu.”
“Oh … iya, tan.”
Aku cepat-cepat masuk ke kamar,
berganti pakaian dan berpura-pura tidur.
“Fi, itu udah di tunggu nak
Fandi. Ayo keluar.” Panggil mama dan masuk ke kamarku.
“Fifi nggak enak badan, ma.”
“Terus gimana sama nak Fandi ?”
“Terserah mama, deh. Bilang aja
Fifi tidur dan nggak mau diganggu.”
#####
“Ma, Fifi berangkat dulu, ya.”
Teriakku.
“Hati-hati, ya.”
Aku berjalan riang seperti
biasa. Sekolahku nggak jauh-jauh banget dari rumah. Palingan kalo jalan 30
menit-an. Biasanya sih aku naik bus. Tapi kali ini aku jalan kaki sekalian
olahraga. Aku sampai di sekolah sekitar jam 7 kurang 15 menit. Aku masuk ke
kelas. Bersiap untuk memulai pelajaran hari ini. Bel berbunyi yang menandakan pelajaran dimulai. Tapi,
pikiranku bukan ke pelajaran itu. Aku malahan memikirkan Fandi. Entah kenapa aku
tiba-tiba memikirkannya. Aku sebenarnya juga tidak punya alasan pasti untuk
membencinya. Tapi …… Ah, sudahlah.
Teng..teng..teng..
Suara
bel menyadarkanku dari lamunanku. Aku pergi ke kantin untuk membeli makanan. Tapi,
pikiranku masih dipenuhi oleh FANDI. Aku memang sudah berteman dengannya sejak
kecil. Kami sangat akrab. Tapi, sejak 3 tahun lalu, dia menghilang begitu saja.
Tanpa memberi kabar sedikitpun. Aku jadi agak membencinya.
Teng..teng..
Bel
masuk berbunyi. Aku masuk ke kelas. Entahlah, apakah aku bisa konsen dengan
pelajarannya. Tapi dia masih menguasai pikiranku. Sangat dalam. Bahkan, sampai
pelajaran terakhir-pun, aku tidak bisa menguasainya. Mungkin sebaiknya aku
memaafkannya. Aku pulang dengan tidak bersemangat. Aku duduk di taman biasa. Memandangi
rerumputan yang bergoyang. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
#####
Aku
tidak berangkat sekolah hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Aku masih ragu
dan Fandi masih berenang di pikiranku. Semuanya kacau. Aku hanya bisa berdiam
diri di kamar, merenung dan merenung. Aku membongkar almari-ku yang penuh
dengan kenanganku dan Fandi waktu kecil. Mencari-cari sesuatu.
“Nah, ini dia.” Kataku. Aku
membuka kotaknya. Isinya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang merubahnya,
termasuk waktu. Apakah dia masih menyimpannya juga. Waktu semakin sore. Entah
kenapa, aku ingin sekali pergi ke taman. Aku ingin melihat bintang-bintang
disana. Aku mandi dan memakai pakaian yang simple, dengan rambut tergerai.
“Ma, Fifi ke taman ya.”
Teriakku.
“Ya. Tapi pulangnya jangan
malem-malem ya.”
“Siap, ma !” Kami tertawa.
Speechles, 1 kata itu yang bisa
aku ungkapkan. Aku melihatnya sedang duduk di bangku taman, sambil memegangi
sebuah benda. Aku tahu dia juga kaget melihatku. Tapi, dia hanya diam saja.
Memandangku dengan putus asa. Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Sudah lama ?” Tanyaku kemudian.
Aku tidak berani melihatnya. Aku hanya memandangi awan-awan dengan warna yang
indah di langit.
“Belum.” Jawabnya singkat. Ada
nada penyesalan dalam suaranya.
“Jadi kamu masih nyimpen itu.”
Kataku. Dia mengangguk.
“Ya.” Katanya kemudian. “Ngapain
kamu kesini ?” Tanyanya kemudian. “Sore-sore lagi.” Lanjutnya.
“Emangnya aku nggak boleh ya
kesini.” Jawabku.
“Ya, terserah kamu sih.”
“Ya udah deh, aku pulang aja.” Baru
mau melangkahkan kaki, dia memegang tanganku. “Kenapa ?” Tanyaku
“Enggak. Jangan pulang dulu.
Bentar lagi kan sunset.” Aku tidak jadi pulang. Aku duduk lagi. Entah kenapa
kami jadi seperti orang yang baru kenal. Saling asing. Kemana Fandi yang dulu ?
Matahari mulai tenggelam,
semakin gelap, gelap dan gelap. Bintang-bintang terlihat jelas dan terang. Aku
suka bintang kejora, tapi dia hanya bisa ditemui saat sunrise datang.
“Nyari apa ? Bintang kejora ?”
Tanyanya kemudian.
“Enggak. Aku suka bintang.”
Jawabku.
“Please. Maafin aku, Fi.”
Katanya kemudian. “Please, Fi.”
Aku nggak tau harus ngomong apa.
Aku udah maafin kamu kok. Tapi itu nggak bisa keluar dari mulutku. Aku hanya
terdiam. Aku mengambil benda yang ada di tangannya, mengambil kunci milikku dan
membukanya.
“Jadi kamu maafin aku ?” Tanyanya
kemudian.
“Nih.” Kataku memberikan
padanya.
“Kamu bener-bener maafin aku ?”
Tanyanya lagi. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Fi, aku pengen tau sesuatu dari
kamu.” Kata Fandi. Aku menatapnya. Wajahnya berubah serius.
“Kamu menganggapku apa ? Apa aku
berharga di hidupmu ? Apa aku hanya sahabatmu atau … lebih ?” Tanya Fandi. Aku
memandangnya. Menatap matanya yang secerah awan. Aku meraih tangannya dan
tersenyum.
“Aku masih SMA, Fan.” Jawabku.
“Maaf. Tapi, menurutku cinta tidak harus memiliki. Aku selalu bahagia
bersamamu. Begitulah cinta. Aku harus membuktikan pada bintang-bintang itu
kalau aku bisa menggapainya. Aku harus bisa membuktikannya.” Kataku yakin. Kami
bertatapan. Senyum terbentuk di bibirnya.
“Ya. Kamu benar. Cinta memang
tidak harus memiliki, tapi akan bahagia jika kita bersama.” Kata Fandi
kemudian.
“Tapi kamu lebih dari temanku ..
kamu sahabatku.” Kataku. “Sahabat baikku.” Sambungku. Tapi suatu saat aku akan menerimamu dalam hidupku selamanya. Saat aku
sudah bisa menggapai bintang-bintang itu, batinku. Kami tertawa bersama. Bintang-bintang itu menjadi saksi ucapanku. Kuharap
bintang-bintang itu akan selamanya menjadi saksi kita. Air mata mengalir di
pipiku dan jatuh tepat di telapak tangan Fandi. Ini bukan air mata kesedihan
tapi air mata kebahagiaan.
“Bintang dan air mata ini
menjadi saksi.” Kata Fandi kemudian seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.
Kami tertawa di bawah milyaran bintang.